Jakarta (ANTARA News) - Kalau tidak ada halangan, pada Maret–Mei nanti, seluruh anak Indonesia yang duduk di kelas terakhir SD sampai SMA akan bertarung dengan seluruh daya dan usaha agar bisa lulus Ujian Nasional (UN) 2010.
Ujian nasional yang dulu dikenal dengan Ebtanas ini sudah sejak lama menjadi momok menakutkan, bukan saja bagi anak dan guru sekolah, tapi juga orang tua.
Semua pihak ikut tegang ketika anak bersiap mengikuti UN, bahkan anak-anak pintar pun “deg-degan”, karena mereka tahu “nasib” juga sangat menentukan kelulusan mereka.
Dua tahun lalu, seorang anak pintar di sebuah SMA di Jakarta yang merasa tidak cukup bekal dari guru-gurunya sehingga sejak kelas dua mengikuti bimbingan belajar, bahkan sudah lolos PMDK di sebuah perguruan tinggi negeri terkenal, tetapi apa daya, anak itu tidak lulus UN.
UN juga membuat para guru ikut tegang dan berjibaku mendampingi muridnya, sampai-sampai mesti membocorkan soal atau memberi jawaban secara sembunyi-sembunyi, hanya agar anak didiknya lulus.
Situasi sama meliputi orang tua. Selain berdoa siang malam, dana juga dikerahkan mereka dengan mengirim anak ke pusat-pusat bimbingan belajar yang terkenal berjaminan lulus atau memiliki sistem belajar ketat sehingga anak bak tinggal di asrama. Bagi mereka, yang penting, anak lulus UN.
Intinya, semua “deg-degan” saat UN tiba.
Lebih dari setahun ini, UN menimbulkan pro kontra pada masyarakat, bahkan pemerintah sendiri. Namun UN tetap dipertahankan dengan versi janji yang berbeda, lengkap dengan misi mulia yang dipikulnya.
Di depan Komisi X DPR RI belum lama ini, Mendiknas Mohammad Nuh mengumumkan empat syarat kelulusan pada 2010.
Pertama, menyelesaikan seluruh proses pembelajaran di sekolah. Kedua, memperoleh nilai baik untuk kelompok mata pelajaran akhlak mulia, kepribadian, dan seterusnya. Ketiga, lulus Ujian Sekolah. Keempat, anak lulus UN.
Keempat syarat ini berlaku simultan. Artinya, meski rata-rata UN seorang murid 10, tapi nilai akhlak mulia atau kepribadian yang dinilai sekolah hanya empat, maka otomatis dia tidak lulus.
Keempat syarat itu tampak ideal karena dengan begitu, anak tidak boleh sekedar pintar, tapi juga mesti santun dan bermoral mulia.
Dia pintar dan juara di kelas, tapi kalau sering “melawan” guru, bisa jadi dia tidak lulus. Masalahnya, pengertian “melawan” tentu ditafsirkan berbeda-beda.
Kalau sudah bosan dengan cara gurunya mengajar, lalu anak berulah, sehingga dia dicap nakal oleh gurunya. Jika murid berani menanyakan yang aneh-aneh, misal, mengapa kacang hijau bentuknya kecil dibandingkan kacang tanah, maka timbul rasa disepelekan dari guru.
Lalu, bagaimana kalau anak memang nakal di sekolah?
Faktor-faktor ini bisa menjaid alasan alasan kuat untuk tidak meluluskan anak, padahal itu belum tentu objektif.
Di balik nafas idealisme UN, terselip kekhawatiran bahwa kelulusan juga ditentukan oleh nilai yang berlaku di sekolah, padahal nilai-nilai itu nota bene adalah nilai-nilai dari para guru yang tentu subjektif.
Oleh karena itu, guna menyeimbangkan keadaan ini dan memenuhi tuntutan agar anak bisa lulus, guru perlu juga mengikuti UN, yakni UN guru.
Kelululusan guru tidak cukup dengan sertifikasi guru, tetapi apakah dia juga memenuhi empat syarat yang ditentukan pemerintah kepada anak-anak sekolah.
Untuk syarat pertama, misalnya, apakah guru sudah memberikan hak dan kewajiban anak selama proses belajar mengajar, karena bukan rahasia lagi, guru juga kerap mangkir, bolos, dan tidak memberi pelajaran sesuai dengan minat anak karena misalnya, hanya mengacu pada kurikulum kaku semata.
Untuk syarat kedua, apakah guru juga telah menjadi teladan bagi anak didiknya, karena bukan hal yang asing jika guru kerap berlaku terlalu keras terhadap anak didik, misalnya menampar atau menjewer anak, bahkan merokok dalam kelas.
Saya teringat pada pengalaman seorang anak kelas dua SD yang rajin mengikuti salat berjamaah di sekolahnya. Dari ibunya, dia belajar bahwa doa paling makbul adalah saat sujud terakhir. Ironisnya, di masjid sekolahnya, dia justru mendapat pukulan dari sajadah yang digulung gurunya, karena dianggap main-main dalam salat, hanya karena sujud terakhirnya lama.
Masih segar dalam ingatan, berita kecil tentang cara guru di sebuah desa terpencil di Sumatera Utara yang menyuruh muridnya menghapus papan tulis dengan lidah muridnya.
Ketiga, harus lulus Ujian Sekolah. Di sini, guru wajib bertanya pada dirinya apakah sudah memberikan yang terbaik. Dalam suatu rapat kelulusan di sekolah, seorang guru bertahan memberikan nilai merah kepada anak didiknya, hanya karena anak kerap melawan gurunya di kelas. Guru Bimbingan Karir (BK)-lah yang lalu mati-matian menolong anak supaya lulus.
Kemudian untuk syarat keempat, apakah guru sudah menyiapkan anak didiknya secara maksimal. Bukan rahasia lagi, selain menyelenggarakan program pengayaan, sekolah-sekolah malah mendatangkan juga “perusahaan” bimbingan belajar ke sekolah atau memanggil alumni pintar untuk memberikan bimbingan khusus kepada murid-muridnya.
Lalu, apa yang diberikan guru selama enam tahun di SD atau tiga tahun di SMP dan SMA, kalau untuk tiga hari UN saja masih meminta tenaga luar?
Inilah dilema UN. Ketegangan emosi yang meliputi anak didik, guru dan orang tua hendaknya membuat semua pihak sadar untuk melewati semua itu dengan kebersamaan, saling terbuka dan peka satu sama lain.
Joseph Devito dalam buku Interpersonal Communication (2009) menyebutkan saling merasa hanya akan muncul jika dua pihak atau lebih bersifat terbuka, berpikiran positif dan merasa setara.
Semua hal itu masih membutuhkan satu syarat lagi, yaitu kemauan menanggapi dengan senang hati segala hal menyangkut anak. Artinya, orang tua dan guru mesti menerima anak apa adanya.
Yang menjadi masalah, orang tua dan guru merasa memiliki “kekuasaan” karena posisinya sebagai orang tua atau guru, sehingga seringkali memandang yang mereka berekan kepada anak adalah yang terbaik untuk anak. Padahal, belum tentu anak merasakannya seperti itu.
Misal, ikut bimbingan belajar ke sana ke mari sehingga anak-anak kelelahan, namun anak merasa bersalah jika tidak menuruti perintah orang tuanya. Rasa bersalah ini semakin membebani anak, jika si anak tidak lulus ujian.
Dalam kaitan itu, semua pihak agaknya perlu memperhatikan model komunikasi mencerahkan seperti disebut John Stewart & Carole Logan dalam buku Together (1993), bahwa orang tua dan anak serta guru perlu membina komunikasi “balancing act.” Namun, ini hanya bisa dipenuhi dengan komunikasi interpersonal.
Menurut mereka, ada dua model hubungan komunikasi, yakni hubungan komplementer karena ada perbedaan posisi atau kepentingan dan pengalaman antara kedua pihak.
Dalam konteks ini, karena orang tua dan guru pada posisi atas, maka anak hanya pasrah dan menerima apa saja yang dianggap terbaik oleh orang tuanya.
Model kedua adalah komunikasi simetris di mana kedua pihak merasa setara meski keduanya berbeda posisi. Komunikasi seperti ini bisa terjalin jika orang tua atau guru tidak menganggap anak didik masih “anak-anak yang masih disuapi” tapi sudah sebagai teman dengan kepentingan bersama.
Di sinilah pentingnya kebersamaan orang tua, guru dan anak dalam menghadapi UN 2010 sehingga ketiganya tidak harus deg-degan karena semua yakin bahwa anak didik mampu menghadapi UN.
(Dr. Artini, Staf Pengajar STIKOM London School of Public Relations, Jakarta)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar